Studium Generale: Akademisi Jangan “Terseret” Diskusi Jalanan

studium generale

Rabu, 1 Maret 2017, suasana Fakultas Ushuluddin dan Humaniora tampak begitu berbeda. Pasalnya sedang berlangsung sebuah Studium Generale sebagai tanda dimulainya kembali perhelatan akademik di kampus biru itu, setelah genap dua bulan denyut jantung keakademikannya sejenak berhenti. Tampil sebagai narasumber pada forum itu, Dr. Mukhsin Jamil, M.Ag. Akademisi yang sekaligus Dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora ini memaparkan gagasannya tentang “Menimbang Post-Tradisionalisme untuk Humanisasi dan Pengembangan Pemikiran Islam”. Agenda akademik ini dihadiri oleh para dosen dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora. Mereka sangat antusias menyimak paparan materi dari narasumber. Moderator diskusi ini, Dr. Zainul Adzfar mencatat banyak tanggapan dan pertanyaan yang diajukan peserta kegiatan ilmiah ini. Ide pemikiran yang diuraikan narasumber cukup membelalakkan kesadaran dan zona berfikir nyaman para peserta. Pak Mukhsin, begitu narasumber sering disapa, memantik respon audiens dengan pertanyaan kritis “Adakah agama yg tidak menggunakan perangkat kebudayaan? Adakah agama yang sudah siap pakai? Adakah Islam murni atau agama murni yang tidak menggunakan perangkat kultural dan simbolik? Jawaban saya, tidak ada.” Begitu juga, ia berpandangan bahwa “agama adalah domain kreatif”. Menyoal semakin menguatnya radikalisme dan konservatisme di tengah kehidupan sosial keagamaan bangsa, dosen Akidah Filsafat Islam ini mengutarakan bahwa saat ini sedang terjadi apa yang disebut dengan “proses pemikiran (tafkir) menjadi proses pengkafiran (takfir)”. Dalam hal ini, ia menghimbau agar Intelektual kampus jangan sampai terseret pada diskusi ideologi jalanan semacam itu. Islam, menurutnya, adalah agama yang hidup. Saat ini yang sedang terjadi pada kehidupan keagamaan kita adalah akumulasi tradisi keagamaan (accumulative traditions). Agama menjadi identik dengan tradisi. Refleksinya, bahwa post tradisionalisme, harus menggunakan cara-cara baru dalam pemikiran dan meskipun demikian tetap berpijak pada tradisi, ini tidak lebih dari qira’ah muashirah. Dengan demikian, Post-Tradisionalisme artinya upaya mengintegrasikan Islam dan lokalitas. Menurutnya, gagasan dan gerakan sosial ini sesungguhnya sudah dilakukan oleh Gus Dur, ini konsep khas. Mengakhiri paparannya, ia katakan “Pancasila adalah proses pribumisasi ideologi Islam, sedangkan NKRI adalah proses pribumisasi daulah islamiyah.” Pada forum tersebut, Wakil Dekan I Dr. Ahmad Musyafiq, M.Ag. menyampaikan dalam penghujung acara bahwa “Diskusi seperti saat ini sudah rutin dijalankan oleh FUHUM dan harus terus dijalankan, namanya Rabu Smart. Diskusi ini lintas prodi. Semester ini, Rabu kelima akan digunakan untuk pendampingan OJS. Oleh karenanya, setiap hari Rabu jam ke 2 dan 3 perkuliahan wajib free. Bagi mahasiswa, mereka wajib mengingatkan dosennya yang pada jam itu malah melangsungkan perkuliahan”. (m_sobirin_sahal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *